Lappung – Krisis singkong Lampung devisa Rp10 triliun terancam hilang.
Lampung, sebagai sentra utama produksi singkong di Indonesia, menghadapi krisis serius.
Baca juga : DPRD Lampung Tekan Perusahaan Singkong: Utamakan Armada Lokal!
Penurunan drastis produksi singkong dalam satu dekade terakhir memukul industri tapioka yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi daerah, sekaligus menyumbang devisa negara hingga Rp10 triliun per tahun.
Ketua Umum Masyarakat Singkong Indonesia (MSI), Arifin Lambaga, mengungkapkan bahwa Lampung menghasilkan 6,7 juta ton singkong pada 2022, atau sekitar 40 persen dari total produksi nasional.
Namun angka tersebut jauh dari capaian terbaiknya, yaitu 9 juta ton pada 2010.
“Produksi terus menurun, bahkan pada 2019 hanya di bawah 5 juta ton.
“Ini krisis serius yang harus segera diatasi,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa, 28 Januari 2025.
Produktivitas Rendah, Petani Menjerit
Turunnya produktivitas singkong, yang kini rata-rata hanya 22 ton per hektare, berdampak besar pada nasib petani.
Baca juga : KPPU Ungkap Impor Besar-besaran, Singkong Lampung Tak Laku
Hasil panen mereka kerap tidak terserap sepenuhnya oleh pabrik, atau dibeli dengan harga yang sangat rendah.
Keputusan Pemerintah Provinsi Lampung pada Desember 2024 menetapkan harga singkong Rp1.400/kg dengan refaksi maksimal 15 persen.
Namun, hal ini justru memicu kontroversi. Industri tapioka kesulitan bersaing dengan harga pasar global yang terus melemah.
Sehingga sejumlah pabrik besar menghentikan operasi dan menolak membeli singkong dari petani.
Kondisi ini memicu demonstrasi besar-besaran petani yang merasa dirugikan.
Mereka juga menuntut transparansi dalam penetapan rendemen (kadar aci) dan besarnya refaksi.
Penentuan sepihak oleh pabrik, yang memotong hasil hingga 30 persen dengan alasan kotoran dan bonggol, membuat kepercayaan antara petani dan industri runtuh.
“Transparansi sangat penting. Ketidaksalingpercayaan ini hanya akan memperburuk krisis,” tegas Arifin.
Industri
Sementara petani terjepit, industri tapioka juga berada dalam tekanan besar.
Penurunan produksi lokal membuat kebutuhan tapioka nasional tak terpenuhi, membuka peluang impor yang justru memukul sektor ini lebih dalam.
MSI mencatat, sekitar 90 persen singkong di Lampung diserap oleh industri tapioka, yang memproduksi hasil samping seperti onggok.
“Tanpa singkong lokal, industri ini akan kehilangan nyawa, dan devisa Rp10 triliun yang selama ini kita andalkan akan menguap,” jelas Arifin.
Solusi Mendesak
Untuk mengatasi krisis ini, MSI menawarkan sejumlah langkah strategis.
Baca juga : Pukul Meja, Anggota DPRD Lampung Picu Amarah Massa Petani Singkong
Dalam jangka pendek, pemerintah diminta menyelamatkan hasil panen petani dengan membuka akses subsidi bibit dan pupuk, serta memediasi kesepakatan harga yang adil antara petani dan industri.
“MSI mengusulkan harga minimal Rp1.200/kg dengan refaksi maksimal 15 persen. Ini adalah angka realistis untuk menyelamatkan kedua pihak,” tambahnya.
Jangka panjang, pemerintah perlu menyusun peta jalan pengembangan industri berbasis singkong yang melibatkan semua pemangku kepentingan.
“Kemitraan antara petani dan pabrik harus diwajibkan, sehingga produktivitas dan kualitas singkong meningkat sesuai kebutuhan pasar,” ujar Arifin.
Pangan Strategis
MSI juga mendesak pemerintah menetapkan singkong sebagai pangan strategis nasional.
Dengan status ini, pengembangan singkong akan lebih terarah, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun mendorong ekspor.
“Lampung memiliki potensi besar. Jangan biarkan komoditas ini terabaikan.
“Ini bukan hanya soal petani atau pabrik, tapi tentang ketahanan pangan dan masa depan ekonomi daerah,” tutup Arifin.
Krisis Singkong Lampung: Devisa Rp10 Triliun Terancam Hilang
Krisis singkong di Lampung adalah peringatan keras bagi semua pihak.
Jika dikelola dengan baik, singkong dapat kembali menjadi komoditas unggulan yang menggerakkan ekonomi daerah.
Namun jika diabaikan, bukan hanya petani yang menderita, melainkan juga industri dan devisa negara.
Baca juga : Harga Singkong Lampung Resmi Rp1400, Pj Gubernur Larang Impor