Lappung – Dosen bongkar bahaya konsesi tambang kampus sebut ini perang wacana!
Wacana pemberian izin tambang bagi perguruan tinggi melalui revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) menuai gelombang kritik.
Baca juga : Warga Sukarahayu Lampung Timur Tolak Tambang Pasir PT NJS
Akademisi menilai, kebijakan ini bukan hanya melenceng dari tridarma perguruan tinggi, tetapi juga berisiko merusak kredibilitas kampus sebagai institusi independen.
Dalam diskusi publik bertajuk Timang Tambang Kampusku Sayang yang digelar secara virtual oleh Bakul Pemimpi, Sabtu, 8 Februari 2025.
Ilham Majid, dosen Universitas Musamus, menegaskan bahwa upaya menjadikan kampus sebagai pelaku usaha tambang adalah bentuk liberalisasi pendidikan yang semakin telanjang.
“Ini upaya menjadikan kampus sebagai bagian dari sistem pasar.
“Jika perguruan tinggi ikut bermain dalam bisnis tambang, independensinya sebagai pusat ilmu pengetahuan akan hancur,” kata Ilham.
Menurutnya, kampus seharusnya menjadi kompas moral yang mengkritisi kebijakan pemerintah, bukan justru menjadi alat untuk mencuci praktik industri ekstraktif yang selama ini banyak menuai polemik.
Kehilangan Peran Kritis
Senada dengan Ilham, Tata Kasmiati, dosen Universitas Sulawesi Barat, menilai kebijakan ini berpotensi merusak esensi tridarma perguruan tinggi.
Pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat bisa tergeser oleh kepentingan ekonomi.
“Kampus bukan perusahaan. Jika kampus sibuk mengelola tambang, maka riset dan pendidikan bisa terbengkalai.
“Belum lagi beban kerja akademisi yang semakin berat,” ujarnya.
Tata juga menyoroti dampak ketimpangan gender yang bisa muncul akibat kebijakan ini.
Industri tambang didominasi oleh laki-laki, sementara dunia akademik saat ini sedang berjuang menuju kesetaraan.
Baca juga : DPP Pematank Bongkar Dugaan KKN di PT Wahana Raharja dan Lampung Jasa Utama
Jika perguruan tinggi dipaksa terjun ke bisnis tambang, dosen dan mahasiswa perempuan bisa semakin terpinggirkan.
Investor atau Utang
Selain dampak akademik dan sosial, Zulfatun Mahmudah, pakar komunikasi publik di sektor tambang, mengingatkan bahwa pertambangan membutuhkan modal sangat besar.
Sebagai contoh, PT Kaltim Prima Coal menghabiskan Rp10 triliun hanya untuk tahap konstruksi awal.
“Kalau kampus mau kelola tambang, ada dua pilihan, menggandeng investor yang berarti menyerahkan kendali kepada pihak ketiga, atau mencari pinjaman yang bisa membuat kampus terjerat utang,” ujarnya.
Lebih jauh, Zulfatun memperingatkan bahwa keterlibatan kampus dalam bisnis tambang bisa merusak reputasi akademik.
Kampus yang seharusnya menjadi pengawas independen atas dampak pertambangan justru bisa kehilangan kredibilitasnya.
“Kalau kampus terlibat, bagaimana bisa bersikap netral dalam menilai dampak lingkungan? Bukankah ini konflik kepentingan yang berbahaya?” katanya.
Strategi Pecah Belah
Di sisi lain, Ilham Majid melihat wacana tambang untuk kampus sebagai bagian dari strategi besar untuk meredam kritik terhadap industri pertambangan.
Ia mengutip teori Antonio Gramsci tentang “perang posisi”, di mana kekuasaan berusaha membangun wacana tandingan untuk melemahkan gerakan sosial.
“Selama ini, perlawanan terhadap tambang banyak digerakkan oleh akademisi dan aktivis.
“Sekarang, kampus justru dijadikan bagian dari sistem tambang itu sendiri. Ini cara halus untuk membungkam kritik,” tegasnya.
Akbar Reza, dosen Universitas Gadjah Mada (UGM), menambahkan bahwa wacana ini bisa jadi hanya “cek ombak” untuk melihat respons publik.
Jika tidak ada perlawanan yang kuat, maka kebijakan ini bisa segera dilegalkan.
Baca juga : Ekspor Lampung Naik, Neraca Perdagangan Surplus
“Ini namanya viral based policy. Lempar isu dulu, lihat reaksi masyarakat, baru pemerintah ambil sikap. Kalau akademisi diam, bisa jadi ini akan diterapkan,” ujarnya.
Dosen Bongkar Bahaya Konsesi Tambang Kampus: Ini Perang Wacana!
Menghadapi ancaman ini, Feri Amsari, ahli hukum tata negara Universitas Andalas, menyerukan agar perguruan tinggi dan organisasi akademik bersatu untuk menolak kebijakan tersebut.
Menurutnya, kampus harus tetap menjadi ruang yang kritis dan independen, bukan alat kepentingan ekonomi semata.
“Jangan sampai kita kehilangan arah. Hari ini kampus masih bisa mengkritisi pemerintah, tapi jika sudah bermain di bisnis tambang, bisa-bisa kita hanya jadi bagian dari sistem yang kita lawan,” katanya.
Ia pun mendorong mahasiswa, dosen, dan organisasi akademik untuk menggalang gerakan penolakan agar kebijakan ini tidak sampai disahkan.
“Jangan biarkan kampus kehilangan jati dirinya. Jika independensi hilang, maka pendidikan tinggal nama,” tegas Feri.
Baca juga : Reklamasi Karang Maritim, DKP Lampung dan PT SJIM Deadlock