Lappung – Provinsi Lampung dinilai memiliki potensi emas untuk menjadi pemain utama atau raja dalam industri bioetanol nasional.
Namun, peluang tersebut terancam sia-sia jika pemerintah tidak segera mengatasi masalah tata niaga bahan baku.
Baca juga : Buah Favorit Warga Lampung
Pemerhati Pembangunan, Mahendra Utama, menyatakan Lampung memiliki semua modal dasar, mulai dari lahan pertanian yang luas hingga komoditas pendukung utama seperti singkong, tebu, dan jagung.
“Lampung seperti duduk di tambang emas energi terbarukan. Kita sudah punya PT Indonesia Ethanol Industry dengan kapasitas 20.000 kiloliter per tahun.
“Ini modal awal yang sangat lumayan,” ujar Mahendra Utama dalam keterangannya, Sabtu, 25 Oktober 2025.
Potensi ini, lanjutnya, sangat relevan dengan target pemerintah pusat yang akan menerapkan program E10 (campuran 10 persen etanol dalam bensin) mulai tahun 2027.
“Target E10 itu ambisius. Jika Lampung bisa memaksimalkan potensinya, bukan tidak mungkin kita menjadi suplier utama untuk kebutuhan nasional,” tegasnya.
Bahan Baku
Meski demikian, Mahendra menyoroti adanya satu ironi besar yang menjadi batu sandungan utama.
Bahan baku vital bioetanol, yaitu molase atau tetes tebu, justru lebih banyak diekspor dalam bentuk mentah daripada diolah di dalam negeri.
“Ini ironis. Kita seperti jual emas mentah padahal bisa diolah jadi perhiasan yang nilainya jauh lebih tinggi,” katanya.
Baca juga : Irigasi: Faktor Kunci Swasembada Beras di Lampung
Menurutnya, kondisi ini membuat industri dalam negeri kesulitan mendapatkan bahan baku.
Selain masalah ekspor, ia juga mengkritisi risiko ketergantungan pada satu bahan baku saja, yakni tebu.
“Kalau hanya bergantung pada tebu, industri ini sangat riskan. Begitu panen gagal atau harganya melonjak, industri bisa terancam berhenti,” jelas Mahendra.
DMO dan Diversifikasi
Untuk mengatasi masalah tersebut, Mahendra Utama mendesak pemerintah segera mengambil 2 langkah strategis.
Pertama, menerapkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) untuk bahan baku bioetanol, khususnya molase.
“Pemerintah perlu segera terapkan DMO agar bahan baku diprioritaskan untuk kebutuhan dalam negeri dulu, bukan malah diekspor,” desaknya.
Kedua, perlunya diversifikasi bahan baku di luar tebu, seperti jagung dan sorgum.
Namun, ia mengingatkan agar proses diversifikasi ini tidak boleh mengganggu atau bentrok dengan ketersediaan kebutuhan pangan utama masyarakat.
“Solusinya bisa dengan insentif khusus bagi petani yang mau menanam komoditas spesifik untuk bioetanol,” tambahnya.
Mahendra menyimpulkan, jika semua tantangan ini bisa diatasi, dampaknya akan luar biasa.
“Lampung bukan cuma jadi pemasok energi bersih. Tapi ekonomi lokal akan bergerak, petani lebih sejahtera, dan Indonesia secara keseluruhan makin mandiri di bidang energi.
“Tinggal sekarang, kita berani ambil langkah atau hanya jadi penonton,” pungkasnya.
Baca juga : Lampung Cukup Sayur, Kurang Distribusi





Lappung Media Network