Lappung – Di tengah tantangan ketahanan pangan yang dihadapi Indonesia, sejarah krisis beras di negara-negara Asia menjadi cermin penting untuk diwaspadai.
Pemerhati pembangunan, Mahendra Utama, menegaskan bahwa Indonesia harus belajar dari pengalaman Jepang, Vietnam, dan Thailand yang pernah terpuruk akibat masalah beras namun berhasil bangkit dengan strategi yang tepat.
Baca juga : Menanti Pucuk Emas dari Pisang Lampung
Menurutnya, krisis beras bukan sekadar persoalan ekonomi, melainkan juga menyangkut stabilitas sosial dan legitimasi politik.
“Bagi bangsa Asia, beras bukan hanya makanan pokok, tapi juga identitas kultural.
“Setiap kali terjadi krisis, dampaknya bukan hanya soal perut, melainkan juga kepercayaan publik terhadap pemerintah,” ujar Mahendra Utama, Rabu, 10 September 2025.
Mahendra memaparkan 3 contoh historis yang relevan bagi kondisi Indonesia saat ini, di mana produksi beras cenderung stagnan, lahan sawah menyusut, dan keran impor kerap menjadi solusi jangka pendek.
Trauma Jepang, Insentif Vietnam, dan Strategi Thailand
Mahendra merujuk pada Heisei Rice Panic yang melanda Jepang pada 1993.
Akibat cuaca buruk, panen anjlok hingga 30 persen, memaksa negara yang biasanya protektif itu untuk mengimpor beras secara besar-besaran.
“Krisis 1993 mengajarkan Jepang pentingnya memiliki cadangan beras nasional yang kuat dan terus berinovasi menciptakan varietas padi yang tahan terhadap perubahan iklim.
“Sejak itu, mereka memperkuat sistem buffer stock,” jelasnya.
Berbeda lagi dengan Vietnam. Pada akhir 1970-an, negara agraris itu justru menjadi importir beras karena sistem kolektivisasi yang mematikan insentif petani.
Titik baliknya adalah reformasi Doi Moi pada 1986, di mana petani diberi hak guna lahan dan kebebasan menjual hasil panen.
“Vietnam membuktikan bahwa petani harus diberi kepercayaan dan insentif, bukan sekadar perintah.
“Hasilnya, dalam 2 dekade mereka berubah menjadi salah satu eksportir beras terbesar dunia,” papar Mahendra.
Sementara itu, Thailand pada 2007-2008 menghadapi krisis harga, bukan produksi.
kepanikan pasar global membuat harga beras melonjak tiga kali lipat.
Baca juga : Mengapa Tata Niaga Minyak Goreng di Lampung Harus Diperbaiki? Solusi Gubernur Mirzani
Pemerintah Thailand merespons dengan menahan ekspor untuk sementara waktu dan meluncurkan skema jaminan harga minimum untuk melindungi petani.
Indonesia di Persimpangan Jalan
Mahendra menilai Indonesia kini berada di persimpangan jalan.
Sejarah swasembada beras pada 1984 membuktikan bahwa Indonesia mampu mandiri jika ada kemauan politik yang kuat untuk memberdayakan penyuluh, memperbaiki irigasi, dan menjaga harga di tingkat petani serta konsumen.
Namun, tantangan saat ini semakin kompleks, mulai dari alih fungsi lahan hingga dampak perubahan iklim.
“Jika kita ingin keluar dari siklus krisis dan ketergantungan impor, harus ada keberanian menata ulang tata kelola pangan secara menyeluruh.
“Petani harus untung, konsumen tidak terbebani, dan cadangan nasional harus benar-benar kuat,” tegasnya.
Ia menambahkan, pelajaran dari 3 negara Asia tersebut sangat jelas, Jepang mengajarkan pentingnya cadangan strategis dan riset, Vietnam tentang pentingnya insentif bagi petani, dan Thailand mengenai vitalnya tata kelola harga.
“Pada akhirnya, seperti yang pernah dikatakan Bung Karno, Ketahanan pangan adalah bagian dari ketahanan bangsa.
“Krisis ini bisa menjadi ancaman, tetapi juga bisa menjadi momentum untuk berbenah.
“Pertanyaannya, apakah kita berani belajar dari sejarah?” tutup Mahendra.
Baca juga : Indonesia di Era Prabowo: Menuju Motor Utama ASEAN