Lappung – Peredaran rokok ilegal di Provinsi Lampung kian mengkhawatirkan.
Kantor Wilayah Direktorat Bea dan Cukai (DJBC) Sumatera Bagian Barat mengungkap, estimasi kerugian negara akibat praktik haram ini telah mencapai angka fantastis Rp60 miliar terhitung hingga 30 September 2025.
Baca juga : Rokok Ilegal Marak, Kinerja Bea Cukai Lampung Disorot
Kepala Bagian Umum DJBC Sumatera Bagian Barat, Wahyudi, menegaskan bahwa angka tersebut bukanlah isapan jempol belaka.
Kerugian masif ini murni berasal dari potensi penerimaan negara yang hilang.
“Ini bukan angka main-main. Kerugian sebesar Rp60 miliar ini berasal dari nilai cukai rokok ilegal yang tidak dibayarkan.
“Setiap bungkus rokok ilegal yang beredar berarti potensi penerimaan negara yang hilang,” tegas Wahyudi, dilansir pada Jumat, 31 Oktober 2025.
Jalur Hotspot
Menurut Wahyudi, posisi geografis Provinsi Lampung yang sangat strategis menjadikannya hotspot atau titik rawan utama perlintasan rokok ilegal.
Lampung menjadi semacam pintu gerbang, baik untuk rokok impor yang masuk dari pesisir timur maupun rokok produksi lokal dari Pulau Jawa.
“Kami menyadari Lampung adalah jalur perlintasan utama. Oleh karena itu, pengawasan di sisi perlintasan ini akan kami perkuat secara signifikan,” ujarnya.
Modus yang digunakan para pelaku pun beragam.
Wahyudi merinci, jenis yang paling sering diamankan adalah sigaret rokok mesin (SKM) tanpa pita cukai alias polos.
“Modusnya beragam, mulai dari tidak menggunakan pita cukai sama sekali, salah peruntukan pita cukai, menggunakan pita cukai bekas, hingga yang paling parah yaitu pita cukai palsu,” jelasnya.
Baca juga : Penyelundupan Jutaan Rokok Ilegal di Bakauheni Lampung Terbongkar, 4 Orang Diperiksa
Kendati demikian, Bea Cukai tidak tinggal diam.
Wahyudi menyatakan pihaknya terus bersinergi dengan aparat penegak hukum (APH) lain dan lintas kantor wilayah untuk menekan peredaran barang haram tersebut.
Keseriusan pemerintah juga dibuktikan dengan alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).
Untuk tahun 2025, Provinsi Lampung menerima DBHCHT sebesar Rp4 miliar, di mana Rp500 juta (10 persen) khusus dialokasikan untuk kegiatan penegakan hukum.
Angka ini bahkan meningkat di tahun 2026 menjadi Rp5,4 miliar, dengan alokasi penegakan hukum mencapai Rp554 juta.
“Khusus untuk Bandarlampung, dana sebesar Rp120 juta digelontorkan setiap bulan untuk operasi pasar dan operasi gabungan,” ungkap Wahyudi.
Dalam operasi tersebut, petugas akan langsung turun ke lapangan untuk memeriksa kepatuhan.
“Kami membeli rokok dari toko, kemudian memeriksa pita cukainya. Jika ada pelanggaran, penindakan langsung dilakukan,” tambahnya.
Bagi para pelanggar, Bea Cukai akan menerapkan sanksi denda atau yang dikenal sebagai ultimum remedium.
Wahyudi menjelaskan bahwa sanksi pidana akan menjadi pilihan terakhir setelah sanksi administratif dan denda tidak efektif.
“Masyarakat juga harus berperan aktif. Laporkan jika melihat peredaran rokok ilegal. Bersama kita jaga penerimaan negara untuk pembangunan yang lebih baik,” pungkasnya.
Baca juga : Ruang Gerak Perokok di Lampung Dibatasi, Ini Lokasinya





Lappung Media Network