Lappung – Wacana penyederhanaan nilai mata uang Rupiah atau redenominasi kembali mencuat ke publik belakangan ini.
Rencana penghilangan 3 angka nol dalam nominal Rupiah (contoh: Rp1.000 menjadi Rp1) tak pelak memicu kekhawatiran sebagian masyarakat yang trauma akan bayang-bayang kebijakan sanering atau pemotongan nilai uang di masa lalu.
Baca juga : Cuan Mana Tanam Singkong atau Jagung?
Menanggapi kegaduhan tersebut, Pemerhati Pembangunan, Mahendra Utama, memberikan penjelasannya.
Ia menegaskan bahwa publik tidak perlu panik berlebihan karena redenominasi memiliki perbedaan mendasar dengan sanering (Gunting Syafruddin) yang pernah membuat daya beli masyarakat anjlok.
“Masyarakat harus paham bedanya. Sanering itu pemotongan nilai uang secara paksa saat ekonomi kacau untuk menekan uang beredar, daya beli hancur.
“Kalau redenominasi, itu dilakukan saat ekonomi stabil. Hanya penyederhanaan nominal, nilai uang dan daya beli tetap sama,” tegas Mahendra Utama dalam keterangannya, Kamis, 13 November 2025.
Untuk memudahkan pemahaman, Mahendra memberikan ilustrasi sederhana menggunakan komoditas sehari-hari.
Ia mencontohkan, jika seseorang memiliki uang Rp100.000 dan harga semangkuk bakso adalah Rp20.000, maka daya belinya adalah 5 mangkuk bakso.
Jika redenominasi diterapkan, uang tersebut secara nominal berubah menjadi Rp100, namun harga bakso juga ikut disesuaikan menjadi Rp20.
“Hasilnya, kita tetap bisa beli 5 mangkok bakso. Jadi kesimpulannya, daya beli masyarakat sama sekali tidak berubah,” jelasnya.
Hal ini, menurut Mahendra, berbanding terbalik dengan sanering.
Jika terjadi sanering, nilai uang dipotong (misal Rp100.000 jadi bernilai Rp10.000) namun harga barang tetap tinggi. Kondisi itulah yang memiskinkan rakyat.
Baca juga : Bobibos: BBM dari Limbah Jerami, Lampung Bisa Produksi?
Mahendra menambahkan, tujuan utama redenominasi adalah efisiensi pencatatan keuangan.
Transaksi dan pembukuan akan menjadi lebih ringkas tanpa deretan angka nol yang berlebihan.
Selain itu, secara citra, Rupiah akan terlihat lebih kredibel dan setara dengan mata uang global.
Meski demikian, Mahendra mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan ini bukan tanpa risiko.
Tantangan terbesar ada di lapangan, yakni potensi pedagang yang membulatkan harga ke atas demi keuntungan sepihak.
“Contohnya harga asli Rp1.450 yang harusnya jadi Rp1,45, bisa jadi dibulatkan pedagang jadi Rp2. Terdengar sepele, tapi kalau terjadi massal bisa memicu inflasi,” tegasnya.
Oleh karena itu, ia menekankan 2 kunci sukses jika kebijakan ini benar-benar digulirkan, sosialisasi yang masif dan pengawasan harga yang ketat.
“Redenominasi bukan untuk memiskinkan rakyat. Selama pemerintah serius mengawal dan menindak oknum yang memainkan harga, ini justru bikin sistem keuangan kita lebih simpel,” pungkas Mahendra.
Baca juga : Ekspor Lampung 2025: Melampaui Target Nasional





Lappung Media Network